Saat ini Indonesia sedang harap-harap cemas menanti terjualnya mayoritas saham industri batubara terbesar di tanah air (BUMI Resources Tbk) kepada pihak asing (Northstar Pasific). Proses due diligence penjualan 35 persen saham (setara 6,791 miliar lembar saham) kepada Northstar Pasific ini sendiri direncanakan berakhir 28 November 2008. Tidak sampai seminggu lagi.
Jika kemudian Northstar Pasific menganggap telah terjadi price disprecancy (ketidaksesuaian harga), akibat semakin anjloknya nilai saham BUMI, maka transaksi pelegoan tersebut akan batal. Kita berdoa saja transaksi benar-benar batal hingga akhirnya mau tidak mau Negara yang akan membelinya.
Ini soal Kedaulatan Energi Nasional
Saat Negara -melalui BUMN-BUMN tambangnya (semisal: PT. ANTAM dan PT. Bukit Asam)- yang mengambil alih saham BUMI, maka bersamaan dengan itu juga PR Negara untuk dapat memenuhi kebutuhan pasokan energi nasional dapat selesai sebagian besarnya. Dengan memiliki mayoritas saham (35%), Negara lah yang akan menentukan akan dilarikan ke mana sumber daya alam (SDA) batubara nasional- diekspor atau dipasok ke industri energi domestik. Jika terwujud, kelak kedaulatan energi bukanlah lagi sebatas retorika atau mimpi-mimpi para elit dan birokrat nasional, tetapi akan sudah mensunyata.
Sangat berbeda bila bukanlah Negara yang mengambil alih BUMI, melainkan pihak asing. Dapat dipastikan jalan menuju kedaulatan energi akan bertambah panjang dan rumit. Hal ini telah terbukti pada banyak sekali kasus industri ekstraktif di tanah air yang mayoritas sahamnya dikuasai asing. Negara hanya merasakan royalty dan pajak, SDA semuanya lari ke luar negeri tanpa tersisa sedikitpun untuk dinikmati faedahnya oleh rakyat.
Masa kita lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama, yang itu-itu juga: menjual kepenguasaan SDA nasional pada asing. Bagi saya sudah jelas. Ini bukanlah soal apakah Bakrie Group selamat atau tidak, ini adalah soal kedaulatan energi nasional. Masa kita rela membiarkan PLN bertambah ‘memble’ akibat kekurangan pasokan SDA batubara milik bangsanya sendiri?
Para Penolak Nasionalisasi
Selain dari pihak Kementerian Keuangan-nya Sri Mulyani (yang merupakan jaringan pemuja aliran Neoliberalisme/Washington Concensus), penolakan untuk membeli saham BUMI oleh Negara juga datang dari kalangan LSM seperti Indonesian Corruption Watch, Wahid Institute, INFID, dan OPSI (KOMPAS Senin, 17 November 2008). Secara prinsip landasan penolakan kedua pihak ini berbeda. Jika Sri Mulyani menolak dengan alasan bahwa memang sudah selayaknya BUMI dilelang kepada asing karena sudah tidak sehat (sesuai watak neoliberal beliau), kalangan akivis lebih menolak dengan alasan bahwa proses pembelian saham BUMI oleh Negara sangat rawan korupsi (karena ternyata Menneg BUMN Sofyan Djalil memiliki sebagian saham di BUMI) dan berpotensi membebani APBN (karena kewajiban menutup utang BNBR sebesar Rp 15 trilyun).
Posisi Sri Mulyani sudah tak perlu diperdebatkan, karena memang sudah menjadi keyakinan (membabi-buta) beliau untuk meliberalkan segala sesuatu. Yang harus lebih kita kritisi lagi adalah alasan dari kalangan LSM: soal korupsi dan pembebanan APBN. Menurut saya, jika toh memang terbukti terjadi korupsi kelak, tinggal tangkap saja si koruptor- tetap jangan lupa kemudian menyita asetnya. Yang paling riil memang adalah pembebanan APBN. Namun, haruslah diketahui bahwa proses nasionalisasi (proses pembelian 35% saham dapat dikategorikan sebagai nasionalisasi) akan selalu membebani anggaran Negara -apakah itu saat pembelian sahamnya atau juga saat mengambil alih utang perusahaan yang dinasionalisasi tersebut. Sekarang tinggal kita nilai saja secara lebih jujur, manakah yang lebih menguntungkan bagi Negara: membiarkan sama sekali mayoritas SDA batubara nasional jatuh ke tangan asing; atau menguasai mayoritas SDA batubara nasional dengan resiko APBN terbebani utang tambahan Rp 15 trilyun. Yang mana yang lebih menguntungkan untuk masa depan bangsa? Bagi saya, toh kapan saja kelak, tergantung pemegang policy, utang luar negeri dapat kita putihkan atau moratoriumkan.
Apapun alasan kedua kubu di atas, secara prinsip nyawa dari penolakan pembelian saham BUMI tetap sama: merelakan mayoritas kepenguasaan SDA ke tangan asing. Karenanya saya menolak tegas landasan kedua kubu tersebut, mereka sama-sama dapat dikategorikan sebagai para penolak nasionalisasi.
Seharusnya sudah jelas: saat banyak aset nasional yang dimiliki pihak swasta berjatuhan nilai jualnya (akibat Krisis Global 2008-2009), maka di saat itulah Negara harus segera bergerak cepat melakukan nasionalisasi. Hanya dengan demikian Indonesia dapat ambil keuntungan atas krisis saat ini.
bikin irang serius membaca aja...
biar wawasan kita nambah dan mengetahu bgiamana politik di dunia indonesia ini :D